Slide Title 1

Aenean quis facilisis massa. Cras justo odio, scelerisque nec dignissim quis, cursus a odio. Duis ut dui vel purus aliquet tristique.

Slide Title 2

Morbi quis tellus eu turpis lacinia pharetra non eget lectus. Vestibulum ante ipsum primis in faucibus orci luctus et ultrices posuere cubilia Curae; Donec.

Slide Title 3

In ornare lacus sit amet est aliquet ac tincidunt tellus semper. Pellentesque habitant morbi tristique senectus et netus et malesuada fames ac turpis egestas.

Kamis, 12 Januari 2012

Secara Logika

Secara Logika Agama seharusnya tidak mengajarkan kebencian atau permusuhan dengan membagi manusia kedalam dua kubu yang berlawanan, antara orang kafir lawan orang beriman. Tetapi sebaliknya agama seharusnya mengajarkan keselarasan, cinta kasih dan persahabatan terhadap semua orang atau semua makhluk, seperti mantra Weda di bawah ini:

"Bebas dari kebencian aku bawa kepadamu, keselarasan dan kebulatan suara. Cintailah satu sama lain, seperti sapi mencintai anaknya yang baru lahir."Atharva Weda. 3.27.

"Semoga kau menghargai semua makhluk dengan mata seorang kawan. Dengan mata seorang kawan kamu menghargai satu sama lain."Yajur Weda. 36.31. 


Minggu, 08 Januari 2012

Hindu Menjawab

Oleh: Ngakan Made Madrasuta


Percakapan ini berisi jawaban singkat yang sering diajukan oleh umat non Hindu

1.Tuhan adalah Dewa?

Teman (T) : Orang Hindu menyembah banyak Dewa, ya ? Hindu Politeis.
Anak Hindu (AH) : Di dalam Weda ada kalimat terkenal yang menyatakan sbb: “Ekam Sat Vipra Bahuda Vadanti, “ artinya “ Tuhan itu satu, tetapi orang bijaksana (para maharsi) menyebutkan dengan berbagai nama. Pernyataan di dalam Weda ini sudah ada jauh sebelum lahirnya agama Kristen dan Islam.

(T) : Jadi Hindu juga menganut monoteisme?

(AH) : TIDAK!! Monoteisme adalah paham tentang satu Tuhan yang memiliki bentuk dan sifat seperti manusia, antara lain cemburu, benci, marah dan dendam dan bermukim jauh di sorga atau di langit ketujuh. Sedangkan Tuhan di dalam pengertian Hindu, ada di mana-mana, di dalam dan diluar ciptaan. Wyapi wyapaka.

(T) : Jadi Tuhan ada di dalam bumi, di dalam pohon-pohon, dan manusia? Bagaimana bisa? Bukankah itu menyekutukan  Tuhan?

 (AH) : Tuhan di dalam paham Hindu, adalah maha ada, Mahatak terbatas. Artinya dia ada di mana-mana, keberadan manusia, pohon-pohon, batu-batuan dan lain-lain, tidak dapat membatasi atas menghalangi keberadaan Tuhan.

(T) : Kok bisaa?

(AH) : Tuhan itu bersifat rohani, bukan jasmani atau materi seperti manusia atau alam. Di dalam kitab suci Hindu diandaikan Tuhan seperti api yang ada di dalam setiap kayu yang terbakar. Atau seperti lisitrik yang menghidupkan dan menggerakkan semua alat-alat elektronik yang ada di dalam materi?

(T) : Bila Tuhan ada di dalam ciptaan, apakah dia tidak kotor, karena ada di dalam ,materi?

(AH) : Mutiara sekalipun diletakkan di tempat sampah atau dilumpur, tetap saja mutiara. Matahari menerangi semua tempat, termasuk tempat kotor, tidak dipengaruhi oleh kekotoran tempat itu. Apalagi Tuhan yang menciptakan dan lebih suci dari matahari itu.

(T) : Tapi kan monoteisme lebih baik?

(AH) : Kata siapa? Tuhan monoteisme kan berpihak pada satu kelompok pemeluk agama saja. Tuhan menurut agama Hindu tidak berpihak. Karna dia ada dimana-mana, ada dalam setiap ciptaan, tidak  mungkin dia hanya menjadi Tuhan bagi sekelompok orang apalagi memusuhi kelompok lainnya. Tuhan menurut agama Hindu, adalah Tuhan bagi seluruh alam semesta, seluruh manusia yang dia ciptakan. Kalau dia hanya menjadi Tuhan untuk satu kelompok orang, mengapa dia menciptakan seluruh manusia? Monoteisme bukanlah Tuhan bagi seluruh manusia. Monotheisme mirip kepala suku. Karena hanya kepala suku yang berpihak kepada sekelompok orang, sukunya, dan memiliki musuh. Sementara Tuhan alam semesta pasti tidak memiliki musuh.

(T) : Bila bukan monoteisme lalu paham ketuhanan-mu disebut apa?

(AH) : Paham ketuhanan Hindu ini dalam istilah filsafat Barat disebut panteisme. Pan artinya semuanya, teis artinya Tuhan. Jadi panteisme artinya Tuhan yang satu itu adalah semuanya. Satu menjadi banyak. Monoteisme dengan Tuhan pemcemburu yang hanya berpihak kepada satu kelompok orang sering menimbulkan konflik dan perang.

(T) : Lalu Dewa itu apa?

(AH) : Kata Dewa dalam bahasa Sansekerta memiliki banyak arti. * Antara lain “ yang member”. Tuhan adalah Dewa karena dia member seluruh dunia.Orang terpelajar yang memberikan ilmu pengetahuan kepada sesame manusia adalah Dewa (Vidvamso hi devah). MAtahari, bulan dan bintang-bintang di langit adalah para Dewa karena merekkan member I cahaya kepada semua ciptaan. Ayah dan Ibu dan pembimbing spiritual adalah juga para Dewa. Bahkan seorang tamu juga adalah Dewa. Maka Dewa  kemudian berarti  cahaya. Kalau diandaikan matahari adalah Tuhan sinarnya yang tak terhitung jumlahnya itu adalah para Dewa. Jadi para Dewa itu sebenarnya adalah nama-nama Tuhan di dalam fungsinya yang terbatas. Misalnya Brahma adalah nama TUhan dalam fungsinya sebagai pencipta. Wisnu adalah nama Tuhan dalam fungsinya sebagai pemelihara. Dan Siwa adalah nama Tuhan dalam fungsinya sebaga pemrelina.

(T) : Siva itu Dewa perusak ya?

(AH) : Bukan perusak tapi pemrelina. Semua yg ada di dunia ini tunduk pada hukum alam yang dlm agama Hindu disebut “RTA”, yaitu, hukum, tumbuh, tambah, musnah. Atau lahir tumbuh berkembang menjadi tua lalu mati. MAnusia, binatang, dan tumbuhan mengalami hal itu. Jika isi ala mini semuanya hanya lahir berkembang dan tidak pernah mati, pastilah ala mini akan penuh. Dan karena itu tidak ada ciptaan baru. Nah proses kematian itulah yang disebut prelina. Contoh lain, perhiasaan lama yg dibuat dari emas dilebur, emas itu dibentuk menjadi perhiasaan baru. Proses peleburan itu disebut jg prelina, itulah fungsi Siva.


Sumber: Media Hindu.

Cermin (1) : "Tuan Jujur"

Oleh: Ramananda Prasad, Ph.D.

Ada seorang pertapa yang hebat, yang terkenal karena selalumengatakan yang sebenarnya. Dia telah bersumpah untuk tidak berbohong dan dikenal sebagai "Tuan Jujur". Tak peduli apa yang dia katakan, semua orang percaya padanya karena ia telah mendapatkan reputasi luar biasa di masyarakat tempat ia tinggal dan melakukan praktek spiritualnya.

Suatu malam, seorang perampok sedang mengejar seorang pedagang untuk dirampok dan dibunuh. Pedagang itu berlalri menyelamatkan hidupnya. Dia lari menuju hutan di mana pertapa ini tiinggal.

Pedagang itu merasa sangat aman karena tidak mungkin si perampok bisa tahu di mana ia bersembunyi di hutan, tetapi pertapa itu melihat ke arah mana larinya si Pedagang.




Para perampok datang ke pondok pertapa dan memberi hormat. Perampok itu tahu bahwa pertapa itu pasti akan mengatakan kebenaran dan dapat dipercay, maka ia bertanya kepadanya apakah ia telah melihat seseorang melarikan diri? Pertapa itu tahu bahwa si perampok sedang mencari seseorang untuk dirampok dan dibunuh, karena itu ia menghadapi masalah besar. jika dia mengatakan yang sebenarnya, pedagang pasti akan dibunuh. jika ia berbohong, ia akan menanggung dosa berbohong dan kehilangan reputasinya. Setiap tindakan yang tidak bermoral dapat membahayakan orang lain disebut dosa. Ahimsa (anti kekerasan) dan kejujuran adalah dua ajaran yang paling penting yang harus kita ikuti. Jika kita harus memilih antara dua, mana yang harus kita pilih? Ini adalah pilihan yang sangat sulit.

Karena kebiasaan mengatakan yang sebenarnya, Pertapa itu berkata: "Ya, aku melihat seseorang melarikan diri." Jadi, perampok berhasil menemukan pedagang itu dan membunuhny. Pertapa itu sebenarnya bisa menyelamatkan hidup seseorang dengan menyembunyikan kebenaran, tetapi ia tidak berpikir dengan baik dan membuat keputusan yang salah.

dari cerita yang dikisahkan diatas ini mengajarkan kita bahwa kadang-kadang kita harus memilih antara batu dan tempat yang keras. Krishna mengatakan kepada Arjuna bahwa pertapa bersama dengan perampok sama berdosanya karena pembunuhan. Perampok tidak bisa menemukan pedagang jika pertapa tidak mengatakan yang sebenarnya. Jadi ketika dua prinsip mulia bertentangan satu sama lain, kita harus tahu mana yang merupakan prinsip lebih tinggi. Ahimsa memiliki prioritas tertinggi, sehingga pertapa seharusnya berbohong dalam situasi ini untuk menyelamatkan kehidupan. Seseorang seharusnya tidak mengatakan suatu kebenaran yang membawa kerugian lebih besar dengan kata lain Pertapa ini hanya mempertimbangkan reputasinya, dan untuk itu ia membiarkan orang lain. yang tidak berdosa dibunuh. Pertapa ini sebenarnya dikuasai oleh egonya. Memang Tidak mudah untuk menerapkan Dharma (kebenaran) dalam situasi kehidupan nyata karena Dharma dan Adharma (kejahatan) terkadang bisa sangat sulit untuk diputuskan.

hemph untuk para rekan yang membaca artikel ini ingat jangan berbohong, danjangan membunuh mahluk hidup atau menyakiti siapa pun, tapi menyelamatkan kehidupan adalah prioritas utama.

Sumber: http://www.mediahindu.net/

Senin, 30 Juni 2008

Makna Nyepi

Banyak kalangan lain di luar umat Hindu melihat keunikan tersendiri bagi umat Hindu Nusantara dalam merayakan Tahun Barunya. Umat lain di hari Tahun Baru-nya merayakan dengan kemeriahan, pesta makan – minum, pakaian baru, dan sebagainya. Umat Hindu, justru di Tahun Baru Saka yang jatuh pada “Penanggal Ping Pisan Sasih Kadasa” menurut sistim kalender Hindu Nusantara, merayakannya dengan sepi yang kemudian bernama “Nyepi” artinya membuat suasana sepi, tanpa kegiatan (amati karya), tanpa menyalakan api (amati gni), tanpa melakukan perjalanan keluar rumah (amati lelungaan) dan tanpa hiburan (amati lelanguan) yang dikenal dengan istilah “Catur berata penyepian”.

Di hari itu umat Hindu melakukan tapa, berata, yoga, samadhi untuk menyimpulkan serta menilai Trikaya pribadi-pribadi dimasa lampau dan merencanakan Trikaya Parisudha dimasa depan. Di hari itu pula umat mengevaluasi dirinya, seberapa jauhkah tingkat pendakian rohani yang telah dicapainya, dan sudahkah masing-masing dari kita mengerti pada hakekat tujuan kehidupan di dunia ini.

Dengan amati karya, kita mempunyai waktu yang cukup untuk melakukan tapa, berata, yoga, dan samadhi;

dalam suasana amati gni, pikiran akan lebih tercurah pada telusuran kebathinan yang tinggi;

pembatasan gerak bepergian keluar rumah berupa amati lelungaan akan mengurung diri sendiri di suatu tempat tertentu untuk melakukan tapa, berata, yoga, samadhi. Tempat itu bisa dirumah, di Pura atau di tempat suci lainnya. Tentu saja dalam prosesi itu kita wajib menghindarkan diri dari segala bentuk hiburan yang menyenangkan yang dinikmati melalui panca indria.

Kemampuan mengendalikan Panca Indria adalah dasar utama dalam mengendalikan Kayika, Wacika dan Manacika sehingga jika sudah terbiasa maka akan memudahkan pelaksanaan Tapa Yadnya.

Walaupun tidak dengan tegas dinyatakan, pada Hari Nyepi seharusnya kita melakukan Upawasa atau berpuasa menurut kemampuan masing-masing.

Jenis-jenis puasa antara lain : tidak makan dan minum selama 24 jam, atau siang hari saja, atau bentuk puasa yang ringan yaitu hanya memakan nasi putih dengan air kelapa gading yang muda.

Setelah Nyepi, diharapkan kita sudah mempunyai nilai tertentu dalam evaluasi kiprah masa lalu dan rencana bentuk kehidupan selanjutnya yang mengacu pada menutup kekurangan-kekurangan nilai dan meningkatkan kwalitas beragama. Demikianlah tahun demi tahun berlalu sehingga semakin lama kita umat Hindu akan semakin mengerti pada hakekat kehidupan di dunia, yang pada gilirannya membentuk pribadi yang dharma, dan menjauhkan hal-hal yang bersifat adharma. Hari Raya Nyepi dan hari-hari Raya umat Hindu lainnya merupakan tonggak-tonggak peringatan penyadaran dharma. Oleh karena itu kegiatan dalam menyambut datangnya hari-hari raya itu semestinya tidak pada segi hura-hura dan kemeriahannya, tetapi lebih banyak pada segi tatwa atau falsafahnya. Seandainya mayoritas umat Hindu Nusantara menyadari hal ini, pastilah masyarakat yang Satyam, Siwam, Sundaram akan dapat tercapai dengan mudah.

Kelemahan tradisi beragama umat Hindu khususnya yang tinggal di Bali, adalah terlalu banyak berkutat pada segi-segi Ritual (Upacara) sehingga segi-segi Tattwa dan Susila kurang diperhatikan. Tidak sedikit dari mereka merasa sudah melaksanakan ajaran Agama hanya dengan melaksanakan upacara-upacara Panca Yadnya saja. Salah satu segi Tattwa yang kurang diperhatikan misalnya mewujudkan Trihitakarana. Perkataan ini sering menjadi selogan yang populer, diucapkan oleh berbagai tokoh dengan gempita tanpa menghayati makna dan aplikasinya yang riil di kehidupan sehari-hari.

Trihitakarana, tiga hal yang mewujudkan kebaikan, yaitu 1. keharmonisan hubungan manusia dengan Hyang Widhi (Pariangan), 2. keharmonisan hubungan manusia sesama manusia (Pawongan) dan 3. keharmonisan hubungan manusia dengan alam (Palemahan).

Trihitakarana bertitik sentral pada manusia, dengan kata lain Trihitakarana bisa terwujud jika manusia mempunyai tekad yang kuat melaksana-kannya. Tekad yang kuat harus disertai dengan pengertian yang mendalam dan kebersamaan sesama umat manusia. Trihitakarana tidak bisa diwujudkan hanya oleh seorang diri atau sekelompok orang saja. Itu harus dilakukan bersama-sama oleh semua manusia, bahkan manusia beragama apapun.

Manusia yang pendakian spiritualnya cukup akan mencintai Tuhan (Hyang Widhi). Cinta kepada sesuatu yang lebih tinggi dan lebih luas disebut “Bhakti”. Ruang lingkup ini misalnya : Bhakti kepada Tuhan, negara, bangsa, rakyat, dll. Tinjuan khusus tentang bhakti kepada Hyang Widhi, wujudnya adalah kasih sayang kepada semua ciptaan-Nya yaitu mahluk hidup : manusia, binatang dan tumbuh-tumbuhan; demikian pula kepada ciptaan-Nya yang lain misalnya alam semesta. Seseorang yang mengaku sebagai “Bhakta” (orang yang berbhakti) tidaklah tepat jika ia menunjukkan bhaktinya itu kepada Hyang Widhi hanya dalam bentuk berbagai ritual saja. Ia juga harus mewujudkan cinta dan kasih sayang kepada semua mahluk, khususnya kepada sesama manusia. Rasa kasih sayang kepada sesama manusia hendaknya benar-benar datang dari hati nurani yang bersih dan tulus tanpa keinginan mendapat balas jasa atau imbalan dalam bentuk apapun. Filsafat Tattwamasi merupakan panduan yang bagus kearah ini.

Masyarakat yang individu-individunya telah mampu melaksanakan ajaran Agama dengan baik akan mewujudkan keadaan yang disebut sebagai Satyam, Siwam, Sundaram, yakni masyarakat yang saling menyayangi sesamanya, kebersamaan yang harmonis dan dinamis, berkeimanan yang kuat dan sejahtera lahir-bathin. Manusia dalam upayanya mencapai kehidupan satyam, siwam, sundaram tidaklah dapat berdiri sendiri-sendiri. Ia memerlukan berbagai hubungan yang harmonis dengan manusia lain, atau jelasnya, manusia membutuhkan kelompok tertentu yang sehaluan dalam pemahaman keimanan, kepentingan politik, kepentingan ekonomi, kepentingan sosial, dan kepentingan budaya.

Prinsip-prinsip jalinan hubungan yang harmonis itu sebagaimana bunyi slogan : “Sagilik-saguluk salunglung sabayantaka, paras-paros sampranaya, saling asah, saling asih, saling asuh”

Artinya : bersatu-padu menyusun kekuatan menghadapi ancaman/bahaya, memutuskan sesuatu secara musyawarah mufakat, saling mengingatkan, saling menyayangi dan saling membantu. Slogan ini bersifat dinamis, dapat digunakan baik dalam lingkungan kecil seperti rumah tangga, maupun dalam lingkungan yang lebih besar seperti Paguyuban, Banjar, dan Desa, bahkan dalam lingkungan Nusantara dan Internasional. Untuk lingkungan yang lebih luas seperti Nusantara dan Internasional kepentingan yang disatukan biasanya menyangkut ideologi misalnya bidang keimanan/ Agama dan Politik. Azas-azas kebersamaan sebagai umat Hindu dapat dikembangkan seluas-luasnya karena akan bermanfaat bagi peningkatan pengetahuan dan kesejahteraan. Kebersamaan itu pula dapat sebagai benteng yang melindungi, mengayomi umat sedharma dari ancaman-ancaman pihak lain dalam bentuk proselitasi (mempengaruhi orang yang sudah memeluk Agama tertentu beralih ke Agama lain).

Selain itu azas kebersamaan sangat bermanfaat bagi umat sedharma untuk bergotong royong menegakkan dharma dan dalam pendakian spiritual individu, misalnya dalam memerangi Sadripu (enam jenis musuh manusia yang ada di diri masing-masing) yaitu : Kama (nafsu yang tak terkendali), Lobha (rakus), Kroda (kemarahan), Mada (kemabukan), Moha (angkuh) dan Matsarya (cemburu, dengki dan iri hati). Slogan “Sagilik-saguluk sabayantaka” hendaknya tidak dipandang secara sempit sebagai menghadapi musuh ekstern, tetapi lebih ditujukan kepada memerangi Sadripu ini. Mereka yang berhasil mengendalikan Sadripu disebut orang yang “Dama” artinya bijaksana. Kebijaksanaan adalah hal yang penting dalam menempuh kehidupan, karena kebijaksanaan dalam arti luas hakekatnya adalah kemampuan memilah dan menyadari Dharma dan Adharma.

Kebersamaan dalam bentuk paguyuban berguna sebagai wadah demokrasi karena konsep “Paras-paros sampranaya” dijalankan. Ini akan membentuk tatanan kehidupan yang moderat dimana terjadi brainsforming dalam memutuskan sesuatu demi kepentingan bersama. Sejarah dunia telah membuktikan bahwa perjuangan dalam bentuk apapun hanya akan berhasil jika dilakukan dengan kesadaran kebersamaan yang hakiki diantara kelompok pejuang. Demikian pula hal yang patut dilakukan oleh umat Hindu dewasa ini, jalinan kebersamaan hendaknya makin diperluas mencapai tahap internasional agar dapat memberikan manfaat yang tinggi bagi

PENERAPAN AGAMA HINDU DI JAMAN KALIYUGA


Jaman Kaliyuga adalah jaman dimana keadaan tidak menentu, kacau atau tidak harmonis, bingung, Pada saat yang sama penerapan ajaran agama mendapat porsi yang sangat sedikit, demikian disampaikan oleh Pedanda Gunung dalam ceramahnya di Ruang Serbaguna PT. ISM Bogasari Flour Mills.

Pada Kepustakaan Lontar Rogha Sanghara Bumi pada lampiran I B, dalam terjemahan disebutkan jaman Kaliyuga ditandai dengan peristiwa dimana para DEWA meninggalkan bumi dengan digantikan oleh para BHUTA menguasai bumi ini dan pada saat itu dunia mengalami kerancuan, ketidak harmonisan, malapetaka dan arah yang tidak menentu.

Periode berlangsungnya/Kapan, berapa lama setiap jaman berlangsung? Pembagian jaman secara valid tidak diketahui batasnya dengan pasti. Yang perlu mendapat perhatian dalam kehidupan di dunia ini adalah bahwa kondisi pada pengaruh ke empat jaman terutama jaman Kali senantiasa ada, dan seberapa porsi pengaruh pada diri manusia tergantung pada perilaku manusia itu sendiri karena manusia merupakan pelaku utama terhadap keadaan harmoni maupun disharmoni-pada diri manusia terdapat sifat DEWA maupun KALA .

BHAKTI / Kasih Sayang yang Murni kepada Tuhan (SIWA). Hal ini dapat dilakukan dengan mengucapkan/mengumandangkan nama suci Tuhan antara lain dengan menyebutkan nama aksara sucinya “Om Namah Siwaya” diucapkan melalui lahir bhatin secara berulang - ulang, Rasa Bhakti ini tidak hanya dilakukan ketika berada di Pura, tetapi dapat dilaksanakan pada tempat lainnya setiap saat.
TRESNA : Sikap bersahabat dengan orang lain/Kasih Sayang.

ASIH : Bersikap Welas Asih pada semua makhiuk, hal ini dapat dilakukan dengan cara berperilaku yang baik, bahwa pada prisipwa kita tidak beda dengan yang lainnya . Hal ini ditegaskan dalam Veda yang dinyatakan dalam satu kalimat sutra yaitu ; Wasudewa Kutumbhakam : Semua mahluk berasal dari satu sumber yaitu Tuhan (Vasudeva) ; Semua mahkluk adalah saudara .

Dalam kepustakaan lontar Agastya Parwa disebutkan tiga bentuk prilaku untuk mewujudkan harmoni di jagat raya ini serta jalan menuju nirvana (sorga) antara lain :
TAPA : Melakukan pengendalain diri baik fisik maupun mental.
YAJNA : Melaksanakan Agnihotra yang utama , yaitu pemujaan kehadapan Sanghyang Siwagni (Tuhan Yang Maha Esa)
KERTHI : Melaksanakan pelayanan yang direalisasikan dalam bentuk membangun tempat pengobatan (apotik,kKlinik dan rumah sakit), membangun tempat suci/pura/candi/, tempat peristirahatan, mengeloia tanah dengan baik/bercocok tanam (bertani), mengelola air minum dan kepentingan pengairan(pancuran) dan membuat penyimpanan air, kolam, waduk, bendungan (telaga).

Tri Murti























Dewa dalam Hindu dan Asosiasi Makna


Dalam terminologi Hindu kita mengenal tiga kemahakuasaan Tuhan, yang kita sebut Tri Murti. Bagian pertama dari Tri Murti tersebut adalah Tuhan yang mewujud sebagai Brahma, yang berperan sebagai pencipta alam semesta beserta seluruh isinya. Lalu, bagian kedua mewujud sebagai Wisnu, yang berperan sebagai pemelihara ciptaan yang sudah ada tersebut. Yang terakhir mewujud sebagai Siwa, yang berperan sebagai pelebur (pengembali ke asal mula) bagi ciptaan-ciptaan yang dianggap sudah tidak berfungsi lagi.

Tiga peran Tuhan yang diwujudkan lewat Tri Murti tersebut dikenal dengan istilah Tri Kona, yaitu Utpeti, Sthiti dan Pralina (menciptakan, memelihara dan memusnahkan). Ini adalah siklus keabadian yang memang harus ada, guna menjaga keharmonisan dari semesta ini.

Perlu kiranya diberikan satu catatan tentang wujud Tuhan yang terakhir dalam Tri Murti itu, yaitu Siwa, yang berperan sebagai (banyak sebutan) pemusnah, pelebur, pendaur ulang, pengembali ke asal mula, Dewa Maut, Dewa Kematian dan sebagainya. Hal ini sering diasosiasikan oleh orang sebagai Dewa yang mengerikan, menyeramkan dan bahkan ada yang mengidentikkan sebagai Dewa yang menjadi biang kejahatan. Demikianlah konon, banyak orang yang hendak bersekutu dengan kejahatan lantas ia memuja Dewa Siwa. Hal itu saya pikir adalah salah kaprah. Kita jangan menganggap, baru tugas-Nya (peran-Nya) sebagai Dewa Pemusnah, dan seterusnya, kita lantas memberi-Nya cap sebagai Dewa yang jahat.

Bayangkan, andaikan yang ada hanya penciptaan dan pemeliharaan belaka dengan tanpa ada pemusnahaan, bisakah keharmonisan hidup terjaga? Jangan-jangan kita hidup bertumpuk-tumpuk seperti ikan pindang dalam satu keranjang, karena dunia ini begitu penuh sesak oleh penghuninya.

Lagi pula dalam filosofi Hindu yang namanya maut atau kematian atau kehancuran bukanlah akhir dari sebuah kehidupan, melainkan adalah bagian dari sebuah kehidupan. Untuk itu, sepatutnyalah bila ada kematian, taklah patut kita untuk bersedih hati (apalagi berkepanjangan). Tetapi terimalah itu dengan lapang hati, bila mungkin dengan senyuman dan perenungan bahwa pada akhirnya kita pun akan mengalami hal yang sama juga. Mungkin dengan demikian, kita akan sadar akan berbagai kekhilafan dan segera bergegas berbenah diri untuk kemdian dapat menyambut dengan senyuman datangnya maut itu.

Dewa-dewa dalam Tri Murti itu, masing-masing memiliki warna sebagai simbolik-Nya. Brahma warna simbolik merah, Wisnu warna simbolik hitam dan Siwa warna simbolik putih. Bila kemudian dalam beberapa tahun terakhir ini, kita sering saksikan banyak dari umat Hindu, bila melayat ke tempat kematian, menggunakan busana serba hitam, katanya sebagai ungkapan turut berduka cita, menurut saya adalah kurang tepat. Karena kalau kita sebagai umat Hindu, yang berpijak pada filosofi Hindu (dan ini sudah seharusnya) adalah tidak benar hitam itu lambang duka atau simbolik dari kematian. Karena Dewa Kematian itu adalah Siwa yang warna-Nya adalah putih. Semestinya umat yang datang ke tempat kematian menggunakan busana serba putih.

Dalam hal ini, kita sebagai umat Hindu, harus punya satu prinsip atau kepribadian yang berangkat dari satu dasar pijakan yang jelas, jangan ikut-ikutan. Jangan menggunakan sesuatu, karena orang lain menggunakan sesuatu itu, tanpa kita tahu apa arti dari menggunakan sesuatu itu, karena itu adalah kebodohan dan kebodohan adalah sesuatu yang berbahaya.

Membangun Pura di Hati


Membangun Pura di Hati

Dikisahkan seorang petani miskin yang bernama Pusalar hidup di India Selatan. Pusalar ingin membangun sebuah pura untuk Tuhan. Tetapi baru saja ia menggali fondasi bangunan dan mengumpulkan batu terasa ia tidak akan mampu meneruskannya karena tidak ada biaya, maka dibiarkannya galia fondasi itu begitu saja. Ia hampir putus asa. Tetapi entah dari mana pikiran cemerlangnya mendapatkan ilham bahwa ia dapat membangun pura di dalam hatinya.

Mulailah ia membangun pura itu dengan menggali dasar bangunan itu dan dikumpulkannya batu sedikit-demi sedikit. Sekalipun ia mampu membangun dengan cepat tetapi ia tidak mau, karena bangunan itu hanya di dalam hati. Ia ingin menikmati pekerjaannya yang ia persembahkan kepada Tuhan.

Setelah bekerja keras selama satu tahun akhirnya pura itu selesai. Ia merasa lega dan bahagia. Ia ingin melakukan upacara Kumba Abiseka (Ngenteg Linggih). Dimohonnnya kepada Tuhan supaya besok dalam upacara Kumba Abiseka Tuhan berkenan hadir dan ia (Pusalar) mohon maaf kepada Tuhan sebab tidak akan ada penyambutan besar-besaran dan ia tidak akan mengundang siapa pun. Sebab, takut ditertawai orang karena pura yang ia bangun ada dalam hatinya.

Suatu kebetulan atau tidak pada saat yang bersamaan Sang Maharaja juga sudah selesai membangun sebuah pura besar di alun-alun di depan istana di tengah kota. Pura ini megah dengan bahan terpilih megah dan mengagumkan. Surat undangan sudah disebar, tentu yang diundang orang-orang penting, pejabat tinggi dan juga Tuhan. Upacara Kumba Abiseka dilakukan pada hari yang sama dengan upacara yang dilakukan oleh Pusalar.

Malam, sehari sebelum upacara Maharaja bermimpi didatangi oleh Tuhan supaya mengundurkan upacaranya sehari. Sebab, besok Tuhan akan menghadiri upacara Ngenteg Linggih yang dilakukan Pusalar. Maharaja kaget, sebab semuanya sudah siap.

Paginya Maharaja mengadakan sidang istimewa, ingin tahu siapa Pusalar itu dan dari mana dia. Maka seluruh kerajaan ditelusuri. Setelah diketahui tempat Pusalar, Maharaja pun menuju tempat sang pemilik pura yang akan dihadiri oleh Tuhan. Didatangi Sang Maharaja, Pusalar kaget. Segera ia menyentuh kaki raja. Di mana puramu Pusalar? Raja bertanya. Karena takut ditertawai orang, sebab ia membangun pura di dalam hatinya, maka ia pun menyangkalnya. Maharaja menceritakan mimpinya kepada Pusalar. Mendengar cerita sang Maharaja, kini Pusalar tidak takut lagi karena Tuhan mengetahui, memberkati yang ia kerjakan. Pusalar menunjuk dadanya: Di sini Yang Mulia.

Mendengar penjelasan Pusalar, sang Raja membungkuk dan menyentuh kaki Pusalar

Menempatkan cerita di atas pada posisi yang wajar tanpa rasa apriori atau emosi dan lain-lain tentu sangat objektif untuk melihat keseharian kita dalam beragam khususnya dalam upacara agama atau membangun tempat ibadah (baca: pura).

Kedalaman beragama dan rasa bakti kepada Hyang Widhi ternyata sangat ditentukan oleh proses terwujudnya sesuatu itu. Jelasnya membangun tempat ibadah (baca: pura) hendaknya dilandasi dengan kesucian dari cara mendapatkan dana, bahan material harus dilandasi kesucian. Membangun dalam wujud fisik di bumi ini tentu penting dan yang lebih penting lagi adalah menjadikan diri ini sebagai pura (baca: rumah Tuhan) tentu juga sangat penting. Bila tidak, maka sia-sialah upacara yang kita lakukan.

Dewa vishnu and dewi lakshmi

Dewa vishnu and dewi lakshmi
Dewa pemelihara

Ganesha

Ganesha
Dewa keberhasilan

Deva Tri Murti

Deva Tri Murti
Deva Brahma, Visnu, Siva