Senin, 30 Juni 2008

Makna Nyepi

Banyak kalangan lain di luar umat Hindu melihat keunikan tersendiri bagi umat Hindu Nusantara dalam merayakan Tahun Barunya. Umat lain di hari Tahun Baru-nya merayakan dengan kemeriahan, pesta makan – minum, pakaian baru, dan sebagainya. Umat Hindu, justru di Tahun Baru Saka yang jatuh pada “Penanggal Ping Pisan Sasih Kadasa” menurut sistim kalender Hindu Nusantara, merayakannya dengan sepi yang kemudian bernama “Nyepi” artinya membuat suasana sepi, tanpa kegiatan (amati karya), tanpa menyalakan api (amati gni), tanpa melakukan perjalanan keluar rumah (amati lelungaan) dan tanpa hiburan (amati lelanguan) yang dikenal dengan istilah “Catur berata penyepian”.

Di hari itu umat Hindu melakukan tapa, berata, yoga, samadhi untuk menyimpulkan serta menilai Trikaya pribadi-pribadi dimasa lampau dan merencanakan Trikaya Parisudha dimasa depan. Di hari itu pula umat mengevaluasi dirinya, seberapa jauhkah tingkat pendakian rohani yang telah dicapainya, dan sudahkah masing-masing dari kita mengerti pada hakekat tujuan kehidupan di dunia ini.

Dengan amati karya, kita mempunyai waktu yang cukup untuk melakukan tapa, berata, yoga, dan samadhi;

dalam suasana amati gni, pikiran akan lebih tercurah pada telusuran kebathinan yang tinggi;

pembatasan gerak bepergian keluar rumah berupa amati lelungaan akan mengurung diri sendiri di suatu tempat tertentu untuk melakukan tapa, berata, yoga, samadhi. Tempat itu bisa dirumah, di Pura atau di tempat suci lainnya. Tentu saja dalam prosesi itu kita wajib menghindarkan diri dari segala bentuk hiburan yang menyenangkan yang dinikmati melalui panca indria.

Kemampuan mengendalikan Panca Indria adalah dasar utama dalam mengendalikan Kayika, Wacika dan Manacika sehingga jika sudah terbiasa maka akan memudahkan pelaksanaan Tapa Yadnya.

Walaupun tidak dengan tegas dinyatakan, pada Hari Nyepi seharusnya kita melakukan Upawasa atau berpuasa menurut kemampuan masing-masing.

Jenis-jenis puasa antara lain : tidak makan dan minum selama 24 jam, atau siang hari saja, atau bentuk puasa yang ringan yaitu hanya memakan nasi putih dengan air kelapa gading yang muda.

Setelah Nyepi, diharapkan kita sudah mempunyai nilai tertentu dalam evaluasi kiprah masa lalu dan rencana bentuk kehidupan selanjutnya yang mengacu pada menutup kekurangan-kekurangan nilai dan meningkatkan kwalitas beragama. Demikianlah tahun demi tahun berlalu sehingga semakin lama kita umat Hindu akan semakin mengerti pada hakekat kehidupan di dunia, yang pada gilirannya membentuk pribadi yang dharma, dan menjauhkan hal-hal yang bersifat adharma. Hari Raya Nyepi dan hari-hari Raya umat Hindu lainnya merupakan tonggak-tonggak peringatan penyadaran dharma. Oleh karena itu kegiatan dalam menyambut datangnya hari-hari raya itu semestinya tidak pada segi hura-hura dan kemeriahannya, tetapi lebih banyak pada segi tatwa atau falsafahnya. Seandainya mayoritas umat Hindu Nusantara menyadari hal ini, pastilah masyarakat yang Satyam, Siwam, Sundaram akan dapat tercapai dengan mudah.

Kelemahan tradisi beragama umat Hindu khususnya yang tinggal di Bali, adalah terlalu banyak berkutat pada segi-segi Ritual (Upacara) sehingga segi-segi Tattwa dan Susila kurang diperhatikan. Tidak sedikit dari mereka merasa sudah melaksanakan ajaran Agama hanya dengan melaksanakan upacara-upacara Panca Yadnya saja. Salah satu segi Tattwa yang kurang diperhatikan misalnya mewujudkan Trihitakarana. Perkataan ini sering menjadi selogan yang populer, diucapkan oleh berbagai tokoh dengan gempita tanpa menghayati makna dan aplikasinya yang riil di kehidupan sehari-hari.

Trihitakarana, tiga hal yang mewujudkan kebaikan, yaitu 1. keharmonisan hubungan manusia dengan Hyang Widhi (Pariangan), 2. keharmonisan hubungan manusia sesama manusia (Pawongan) dan 3. keharmonisan hubungan manusia dengan alam (Palemahan).

Trihitakarana bertitik sentral pada manusia, dengan kata lain Trihitakarana bisa terwujud jika manusia mempunyai tekad yang kuat melaksana-kannya. Tekad yang kuat harus disertai dengan pengertian yang mendalam dan kebersamaan sesama umat manusia. Trihitakarana tidak bisa diwujudkan hanya oleh seorang diri atau sekelompok orang saja. Itu harus dilakukan bersama-sama oleh semua manusia, bahkan manusia beragama apapun.

Manusia yang pendakian spiritualnya cukup akan mencintai Tuhan (Hyang Widhi). Cinta kepada sesuatu yang lebih tinggi dan lebih luas disebut “Bhakti”. Ruang lingkup ini misalnya : Bhakti kepada Tuhan, negara, bangsa, rakyat, dll. Tinjuan khusus tentang bhakti kepada Hyang Widhi, wujudnya adalah kasih sayang kepada semua ciptaan-Nya yaitu mahluk hidup : manusia, binatang dan tumbuh-tumbuhan; demikian pula kepada ciptaan-Nya yang lain misalnya alam semesta. Seseorang yang mengaku sebagai “Bhakta” (orang yang berbhakti) tidaklah tepat jika ia menunjukkan bhaktinya itu kepada Hyang Widhi hanya dalam bentuk berbagai ritual saja. Ia juga harus mewujudkan cinta dan kasih sayang kepada semua mahluk, khususnya kepada sesama manusia. Rasa kasih sayang kepada sesama manusia hendaknya benar-benar datang dari hati nurani yang bersih dan tulus tanpa keinginan mendapat balas jasa atau imbalan dalam bentuk apapun. Filsafat Tattwamasi merupakan panduan yang bagus kearah ini.

Masyarakat yang individu-individunya telah mampu melaksanakan ajaran Agama dengan baik akan mewujudkan keadaan yang disebut sebagai Satyam, Siwam, Sundaram, yakni masyarakat yang saling menyayangi sesamanya, kebersamaan yang harmonis dan dinamis, berkeimanan yang kuat dan sejahtera lahir-bathin. Manusia dalam upayanya mencapai kehidupan satyam, siwam, sundaram tidaklah dapat berdiri sendiri-sendiri. Ia memerlukan berbagai hubungan yang harmonis dengan manusia lain, atau jelasnya, manusia membutuhkan kelompok tertentu yang sehaluan dalam pemahaman keimanan, kepentingan politik, kepentingan ekonomi, kepentingan sosial, dan kepentingan budaya.

Prinsip-prinsip jalinan hubungan yang harmonis itu sebagaimana bunyi slogan : “Sagilik-saguluk salunglung sabayantaka, paras-paros sampranaya, saling asah, saling asih, saling asuh”

Artinya : bersatu-padu menyusun kekuatan menghadapi ancaman/bahaya, memutuskan sesuatu secara musyawarah mufakat, saling mengingatkan, saling menyayangi dan saling membantu. Slogan ini bersifat dinamis, dapat digunakan baik dalam lingkungan kecil seperti rumah tangga, maupun dalam lingkungan yang lebih besar seperti Paguyuban, Banjar, dan Desa, bahkan dalam lingkungan Nusantara dan Internasional. Untuk lingkungan yang lebih luas seperti Nusantara dan Internasional kepentingan yang disatukan biasanya menyangkut ideologi misalnya bidang keimanan/ Agama dan Politik. Azas-azas kebersamaan sebagai umat Hindu dapat dikembangkan seluas-luasnya karena akan bermanfaat bagi peningkatan pengetahuan dan kesejahteraan. Kebersamaan itu pula dapat sebagai benteng yang melindungi, mengayomi umat sedharma dari ancaman-ancaman pihak lain dalam bentuk proselitasi (mempengaruhi orang yang sudah memeluk Agama tertentu beralih ke Agama lain).

Selain itu azas kebersamaan sangat bermanfaat bagi umat sedharma untuk bergotong royong menegakkan dharma dan dalam pendakian spiritual individu, misalnya dalam memerangi Sadripu (enam jenis musuh manusia yang ada di diri masing-masing) yaitu : Kama (nafsu yang tak terkendali), Lobha (rakus), Kroda (kemarahan), Mada (kemabukan), Moha (angkuh) dan Matsarya (cemburu, dengki dan iri hati). Slogan “Sagilik-saguluk sabayantaka” hendaknya tidak dipandang secara sempit sebagai menghadapi musuh ekstern, tetapi lebih ditujukan kepada memerangi Sadripu ini. Mereka yang berhasil mengendalikan Sadripu disebut orang yang “Dama” artinya bijaksana. Kebijaksanaan adalah hal yang penting dalam menempuh kehidupan, karena kebijaksanaan dalam arti luas hakekatnya adalah kemampuan memilah dan menyadari Dharma dan Adharma.

Kebersamaan dalam bentuk paguyuban berguna sebagai wadah demokrasi karena konsep “Paras-paros sampranaya” dijalankan. Ini akan membentuk tatanan kehidupan yang moderat dimana terjadi brainsforming dalam memutuskan sesuatu demi kepentingan bersama. Sejarah dunia telah membuktikan bahwa perjuangan dalam bentuk apapun hanya akan berhasil jika dilakukan dengan kesadaran kebersamaan yang hakiki diantara kelompok pejuang. Demikian pula hal yang patut dilakukan oleh umat Hindu dewasa ini, jalinan kebersamaan hendaknya makin diperluas mencapai tahap internasional agar dapat memberikan manfaat yang tinggi bagi

PENERAPAN AGAMA HINDU DI JAMAN KALIYUGA


Jaman Kaliyuga adalah jaman dimana keadaan tidak menentu, kacau atau tidak harmonis, bingung, Pada saat yang sama penerapan ajaran agama mendapat porsi yang sangat sedikit, demikian disampaikan oleh Pedanda Gunung dalam ceramahnya di Ruang Serbaguna PT. ISM Bogasari Flour Mills.

Pada Kepustakaan Lontar Rogha Sanghara Bumi pada lampiran I B, dalam terjemahan disebutkan jaman Kaliyuga ditandai dengan peristiwa dimana para DEWA meninggalkan bumi dengan digantikan oleh para BHUTA menguasai bumi ini dan pada saat itu dunia mengalami kerancuan, ketidak harmonisan, malapetaka dan arah yang tidak menentu.

Periode berlangsungnya/Kapan, berapa lama setiap jaman berlangsung? Pembagian jaman secara valid tidak diketahui batasnya dengan pasti. Yang perlu mendapat perhatian dalam kehidupan di dunia ini adalah bahwa kondisi pada pengaruh ke empat jaman terutama jaman Kali senantiasa ada, dan seberapa porsi pengaruh pada diri manusia tergantung pada perilaku manusia itu sendiri karena manusia merupakan pelaku utama terhadap keadaan harmoni maupun disharmoni-pada diri manusia terdapat sifat DEWA maupun KALA .

BHAKTI / Kasih Sayang yang Murni kepada Tuhan (SIWA). Hal ini dapat dilakukan dengan mengucapkan/mengumandangkan nama suci Tuhan antara lain dengan menyebutkan nama aksara sucinya “Om Namah Siwaya” diucapkan melalui lahir bhatin secara berulang - ulang, Rasa Bhakti ini tidak hanya dilakukan ketika berada di Pura, tetapi dapat dilaksanakan pada tempat lainnya setiap saat.
TRESNA : Sikap bersahabat dengan orang lain/Kasih Sayang.

ASIH : Bersikap Welas Asih pada semua makhiuk, hal ini dapat dilakukan dengan cara berperilaku yang baik, bahwa pada prisipwa kita tidak beda dengan yang lainnya . Hal ini ditegaskan dalam Veda yang dinyatakan dalam satu kalimat sutra yaitu ; Wasudewa Kutumbhakam : Semua mahluk berasal dari satu sumber yaitu Tuhan (Vasudeva) ; Semua mahkluk adalah saudara .

Dalam kepustakaan lontar Agastya Parwa disebutkan tiga bentuk prilaku untuk mewujudkan harmoni di jagat raya ini serta jalan menuju nirvana (sorga) antara lain :
TAPA : Melakukan pengendalain diri baik fisik maupun mental.
YAJNA : Melaksanakan Agnihotra yang utama , yaitu pemujaan kehadapan Sanghyang Siwagni (Tuhan Yang Maha Esa)
KERTHI : Melaksanakan pelayanan yang direalisasikan dalam bentuk membangun tempat pengobatan (apotik,kKlinik dan rumah sakit), membangun tempat suci/pura/candi/, tempat peristirahatan, mengeloia tanah dengan baik/bercocok tanam (bertani), mengelola air minum dan kepentingan pengairan(pancuran) dan membuat penyimpanan air, kolam, waduk, bendungan (telaga).

Tri Murti























Dewa dalam Hindu dan Asosiasi Makna


Dalam terminologi Hindu kita mengenal tiga kemahakuasaan Tuhan, yang kita sebut Tri Murti. Bagian pertama dari Tri Murti tersebut adalah Tuhan yang mewujud sebagai Brahma, yang berperan sebagai pencipta alam semesta beserta seluruh isinya. Lalu, bagian kedua mewujud sebagai Wisnu, yang berperan sebagai pemelihara ciptaan yang sudah ada tersebut. Yang terakhir mewujud sebagai Siwa, yang berperan sebagai pelebur (pengembali ke asal mula) bagi ciptaan-ciptaan yang dianggap sudah tidak berfungsi lagi.

Tiga peran Tuhan yang diwujudkan lewat Tri Murti tersebut dikenal dengan istilah Tri Kona, yaitu Utpeti, Sthiti dan Pralina (menciptakan, memelihara dan memusnahkan). Ini adalah siklus keabadian yang memang harus ada, guna menjaga keharmonisan dari semesta ini.

Perlu kiranya diberikan satu catatan tentang wujud Tuhan yang terakhir dalam Tri Murti itu, yaitu Siwa, yang berperan sebagai (banyak sebutan) pemusnah, pelebur, pendaur ulang, pengembali ke asal mula, Dewa Maut, Dewa Kematian dan sebagainya. Hal ini sering diasosiasikan oleh orang sebagai Dewa yang mengerikan, menyeramkan dan bahkan ada yang mengidentikkan sebagai Dewa yang menjadi biang kejahatan. Demikianlah konon, banyak orang yang hendak bersekutu dengan kejahatan lantas ia memuja Dewa Siwa. Hal itu saya pikir adalah salah kaprah. Kita jangan menganggap, baru tugas-Nya (peran-Nya) sebagai Dewa Pemusnah, dan seterusnya, kita lantas memberi-Nya cap sebagai Dewa yang jahat.

Bayangkan, andaikan yang ada hanya penciptaan dan pemeliharaan belaka dengan tanpa ada pemusnahaan, bisakah keharmonisan hidup terjaga? Jangan-jangan kita hidup bertumpuk-tumpuk seperti ikan pindang dalam satu keranjang, karena dunia ini begitu penuh sesak oleh penghuninya.

Lagi pula dalam filosofi Hindu yang namanya maut atau kematian atau kehancuran bukanlah akhir dari sebuah kehidupan, melainkan adalah bagian dari sebuah kehidupan. Untuk itu, sepatutnyalah bila ada kematian, taklah patut kita untuk bersedih hati (apalagi berkepanjangan). Tetapi terimalah itu dengan lapang hati, bila mungkin dengan senyuman dan perenungan bahwa pada akhirnya kita pun akan mengalami hal yang sama juga. Mungkin dengan demikian, kita akan sadar akan berbagai kekhilafan dan segera bergegas berbenah diri untuk kemdian dapat menyambut dengan senyuman datangnya maut itu.

Dewa-dewa dalam Tri Murti itu, masing-masing memiliki warna sebagai simbolik-Nya. Brahma warna simbolik merah, Wisnu warna simbolik hitam dan Siwa warna simbolik putih. Bila kemudian dalam beberapa tahun terakhir ini, kita sering saksikan banyak dari umat Hindu, bila melayat ke tempat kematian, menggunakan busana serba hitam, katanya sebagai ungkapan turut berduka cita, menurut saya adalah kurang tepat. Karena kalau kita sebagai umat Hindu, yang berpijak pada filosofi Hindu (dan ini sudah seharusnya) adalah tidak benar hitam itu lambang duka atau simbolik dari kematian. Karena Dewa Kematian itu adalah Siwa yang warna-Nya adalah putih. Semestinya umat yang datang ke tempat kematian menggunakan busana serba putih.

Dalam hal ini, kita sebagai umat Hindu, harus punya satu prinsip atau kepribadian yang berangkat dari satu dasar pijakan yang jelas, jangan ikut-ikutan. Jangan menggunakan sesuatu, karena orang lain menggunakan sesuatu itu, tanpa kita tahu apa arti dari menggunakan sesuatu itu, karena itu adalah kebodohan dan kebodohan adalah sesuatu yang berbahaya.

Membangun Pura di Hati


Membangun Pura di Hati

Dikisahkan seorang petani miskin yang bernama Pusalar hidup di India Selatan. Pusalar ingin membangun sebuah pura untuk Tuhan. Tetapi baru saja ia menggali fondasi bangunan dan mengumpulkan batu terasa ia tidak akan mampu meneruskannya karena tidak ada biaya, maka dibiarkannya galia fondasi itu begitu saja. Ia hampir putus asa. Tetapi entah dari mana pikiran cemerlangnya mendapatkan ilham bahwa ia dapat membangun pura di dalam hatinya.

Mulailah ia membangun pura itu dengan menggali dasar bangunan itu dan dikumpulkannya batu sedikit-demi sedikit. Sekalipun ia mampu membangun dengan cepat tetapi ia tidak mau, karena bangunan itu hanya di dalam hati. Ia ingin menikmati pekerjaannya yang ia persembahkan kepada Tuhan.

Setelah bekerja keras selama satu tahun akhirnya pura itu selesai. Ia merasa lega dan bahagia. Ia ingin melakukan upacara Kumba Abiseka (Ngenteg Linggih). Dimohonnnya kepada Tuhan supaya besok dalam upacara Kumba Abiseka Tuhan berkenan hadir dan ia (Pusalar) mohon maaf kepada Tuhan sebab tidak akan ada penyambutan besar-besaran dan ia tidak akan mengundang siapa pun. Sebab, takut ditertawai orang karena pura yang ia bangun ada dalam hatinya.

Suatu kebetulan atau tidak pada saat yang bersamaan Sang Maharaja juga sudah selesai membangun sebuah pura besar di alun-alun di depan istana di tengah kota. Pura ini megah dengan bahan terpilih megah dan mengagumkan. Surat undangan sudah disebar, tentu yang diundang orang-orang penting, pejabat tinggi dan juga Tuhan. Upacara Kumba Abiseka dilakukan pada hari yang sama dengan upacara yang dilakukan oleh Pusalar.

Malam, sehari sebelum upacara Maharaja bermimpi didatangi oleh Tuhan supaya mengundurkan upacaranya sehari. Sebab, besok Tuhan akan menghadiri upacara Ngenteg Linggih yang dilakukan Pusalar. Maharaja kaget, sebab semuanya sudah siap.

Paginya Maharaja mengadakan sidang istimewa, ingin tahu siapa Pusalar itu dan dari mana dia. Maka seluruh kerajaan ditelusuri. Setelah diketahui tempat Pusalar, Maharaja pun menuju tempat sang pemilik pura yang akan dihadiri oleh Tuhan. Didatangi Sang Maharaja, Pusalar kaget. Segera ia menyentuh kaki raja. Di mana puramu Pusalar? Raja bertanya. Karena takut ditertawai orang, sebab ia membangun pura di dalam hatinya, maka ia pun menyangkalnya. Maharaja menceritakan mimpinya kepada Pusalar. Mendengar cerita sang Maharaja, kini Pusalar tidak takut lagi karena Tuhan mengetahui, memberkati yang ia kerjakan. Pusalar menunjuk dadanya: Di sini Yang Mulia.

Mendengar penjelasan Pusalar, sang Raja membungkuk dan menyentuh kaki Pusalar

Menempatkan cerita di atas pada posisi yang wajar tanpa rasa apriori atau emosi dan lain-lain tentu sangat objektif untuk melihat keseharian kita dalam beragam khususnya dalam upacara agama atau membangun tempat ibadah (baca: pura).

Kedalaman beragama dan rasa bakti kepada Hyang Widhi ternyata sangat ditentukan oleh proses terwujudnya sesuatu itu. Jelasnya membangun tempat ibadah (baca: pura) hendaknya dilandasi dengan kesucian dari cara mendapatkan dana, bahan material harus dilandasi kesucian. Membangun dalam wujud fisik di bumi ini tentu penting dan yang lebih penting lagi adalah menjadikan diri ini sebagai pura (baca: rumah Tuhan) tentu juga sangat penting. Bila tidak, maka sia-sialah upacara yang kita lakukan.

Asta Brata


"Asta Brata, Pedoman Kepemimpinan Hindu"

Kiriman dari: Putra Semarapura
OM Svastyastu,


Om Swastyastu
Pemimpin adalah faktor penentu dalam sukses atau gagalnya suatu organisasi atau Negara. Baik dalam politik pemerintahan, dunia pendidikan, Religi, sosial maupun dunia bisnis, dll. Kualitas pemimpin sangat berpengaruh terhadap keberhasilan organisasi. Sebab pemimpin yang sukses itu mampu mengelola organisasi, mampu mengantisifasi perubahan yang tiba-tiba, dapat mengoreksi kelemahan dan ringkasnya pemimpin mempunyai kesempatan paling banyak untuk merubah "batu menjadi permata" atau sebaliknya merubah "istana menjadi abu" bila ia salah langkah atau tidak cakap. Oleh karena itu pemimpin merupakan kunci sukses bagi keberhasilan organisasi dalam mewujudkan visi dan misinya.

Pada dasarnya atau konsekwensinya hanya ada dua pilihan bila kita hidup dalam suatu perkumpulan yakni sebagai pemimpin atau sebagai yang dipimpin, yang lasim disebut dengan anggota. Sebagai anggota yang dipimpin kita harus memiliki loyalitas, patuh dan taat pada perintah atasan sebagai pemimpin dan rela berkorban serta bekerja keras untuk mendukung atasan dalam pencapaian tujuan, yang dalam ajaran agama kita disebut "Satya Bela Bhakti Prabhu" Sedangkan sebagai pemimpin harus mempunyai pengetahuan dan kemampuan untuk memimpin serta dapat diterima oleh yang dipimpin ataupun atasannya. Kemampuan disini dalam arti mampu memimpin, mampu mengorbankan diri demi tujuan yang ingin dicapai, baik korban waktu, tenaga, materi dan lain-lain serta dapat diterima dalam arti dapat dipercaya oleh anggota masyarakatnya dan pejabat yang lebih diatasnya.

Untuk suksesnya pencapaian tujuan suatu perkumpulan, hal ini sangat tergantung dari proses kerjasama dan rasa saling membutuhkan antara anggota dengan pemimpinnya. Kondisi seperti ini di ibaratkan seperti hubungan Singa dengan Hutan. Singa adalah penjaga hutan. Hutan pun selalu melindungi Singa, Singa dan Hutan harus selalu saling melindungi dan bekerja sama. Bila tidak demikian, maka hutan akan hancur dirusak manusia, pohon-pohonnya akan habis dan gundul ditebang, hal ini membuat singa kehilangan tempat bersembunyi, sehingga ia bermukim dijurang atau dilapangan yang akhirnya musnah diburu dan diserang manusia. Hubungan kerjasama yang saling membutuhkan ibaratnya "Singa dengan Hutan" perlu diterapkan oleh seorang pemimpin dan masyarakatnya sehingga dapat sukses dalam mencapai tujuan yang diinginkan bersama. Tidak ada pemimpin yang sukses tanpa didukung masyarakatnya, demikian pula sebaliknya.

Karena itu untuk menjadi seorang pemimpin, sudah seharusnyalah kita mampu untuk berbuat dan memiliki kriteria atau sifat-sifat seorang pemimpin seperti harus jujur, bersimpatik, ulet, bijaksana, pandai, cerdas, berwibawa, dan sebagainya. Selain itu seorang pemimpin hendaknya memahami dan bisa mengamalkan ajaran "ASTA BRATA". Asta berarti delapan dan Brata dimaksudkan sebagai sifat mulia dari alam semesta yang patut dan wajib dijadikan pedoman bagi seorang pemimpin, yaitu:

1. INDRA BRATA,
yaitu seorang pemimpin hendaknya memiliki sifat seperti hujan yaitu senantiasa mengusahakan kemakmuran bagi rakyatnya dan dalam setiap tindakannya dapat membawa kesejukan dan penuh kewibawaan.

2. YAMA BRATA,
Seorang pemimpin hendaknya meneladani sifat-sifat Dewa Yama, yaitu berani menegakkan keadilan menurut hukum atau peraturan yang berlaku demi mengayomi masyarakat.

3. SURYA BRATA,
pemimpin hendaknya memiliki sifat-sifat seperti Matahari (Surya) yang mampu memberikan semangat dan kekuatan pada kehidupan yang penuh dinamika dan sebagai sumber energi.

4. CANDRA BRATA,
Yaitu seorang pemimpin hendaknya memiliki sifat-sifat seperti Bulan (Candra) yang mampu memberikan penerangan bagi rakyatnya yang berada dalam kegelapan/kebodohan, dengan menampilkan wajah yang penuh kesejukan dan penuh simpati sehingga masyarakatnya merasa tentram dan hidup dengan nyaman.

5. WAYU BRATA (Maruta),
yang berarti angin. Seorang pemimpin hendaknya ibarat angin, senantiasa berada di tengah-tengah masyarakatnya, memberikan kesegaran dan selalu turun ke masyarakat untuk melihat bagaimana kehidupan masyarakat yang dipimpinnya.

6. BHUMI.
Seorang pemimpin hendaknya memiliki sifat utama dari bumi yaitu teguh dan kuat sebagai landasan berpijak dan memberikan kesejahteraan kepada masyarakatnya.

7. WARUNA BRATA,
seorang pemimpin hendaknya bersifat seperti samudra yaitu memiliki wawasan yang luas, mampu mengatasi setiap gejolak (riak) dengan baik, penuh kearifan dan kebijaksanaan.

8. AGNI BRATA,
Pemimpin hendaknya memiliki sifat mulia dari api yaitu mendorong/ memberi semangat kepada masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembangunan, tetap teguh dan tegak dalam prinsip dan menindak dengan tegas yang bersalah tanpa pilih kasih serta mambrantas/menghanguskan semua yang menjadi musuh pemerintah baik yang datangnya dari luar maupun dari dalam negeri itu sendiri.

Ajaran kepemimpinan/sifat-sifat ini bukan saja harus dimiliki oleh seorang pemimpin Negara/pemimpin dimasyarakat setempat, namun ajaran ini harus diketahui dan dimiliki oleh masing-masing individu, karena setiap individu adalah pemimpin bagi dirinya sendiri. Karena itu marilah kita sama-sama belajar untuk memimpin diri kita sendiri kearah yang lebih baik lagi.

Om Santih Santih Santih Om

Minggu, 29 Juni 2008


SATSANG GAYATRI

“Dimana Gayathri? Gayathri ada dimana-mana”

Kemudian salah-seorang dokter mengajukan pertanyaan ini kepada Swami: “Swami, mohon jelaskanlah tentang Gayathri?”

Teman-teman, semua pernyataan-pernyataan ini merupakan statements yang ada catatan & rekamannya. Jadi, tak ada sesuatupun yang merupakan hasil karangan atau imajinasi saya belaka. Sebagai informasi, selama 27 bulan terakhir, majalah Sanathana Sarathi edisi Telugu telah mempublikasikan hal yang serupa (Mutiara Kebijaksanaa Sai ini). Disebabkan oleh karena begitu besarnya permintaan dari para bhakta berbahasa Inggris, maka sekarang saya menyampaikannya dalam Bahasa Inggris. Hal ini perlu saya sampaikan sekarang agar anda menjadi yakin terhadap keotentikan dan kredibilitas dari semua ceritera ini.

Bhagawan berkata, “Oh dokter, kau ingin tahu tentang Gayathri? Dimanakah Gayathri?”

Jikalau pertanyaan ini diajukan kepada anda atau saya, maka kita akan mengatakan, “Oh, Gayathri ada di dalam.”

“Dimana?”

“Di Prashanti Nilayam.”

“Dimana?”

“Di depan Kantor Pos.” (tertawa)

“Dimana???”

“Persisnya di depan fourth Round Building!”

“Oh, I see.” (Itu adalah tempat dimana temple Gayathri secara fisik terletak di dalam kompleks Ashram – anda tentu tahu). Kemudian Baba berkata, “No. Gayathri ada dimana-mana – di dalam dirimu, bersamamu, di atasmu, di bawahmu, di sekelilingmu – dimana-mana saja.” Marilah kita meyakinkan diri terhadap pernyataan ini. God is omnipresent (hadir dimana-mana), God is omniscient (Maha Tahu), God is omnipotent (Maha Kuasa), dan God is everywhere (ada dimana-mana). Jadi, ungkapan yang mengatakan bahwa Gayathri ada di dalam dan hanya ada di depan kantor Pos – ungkapan ini sungguh amat mengelikan sekali. Gayathri ada di dalam dirimu, bersamamu, di atasmu, dimana-mana! Itulah yang dikatakan oleh Bhagawan.

Lebih lanjut Bhagawan mulai menjelaskan tentang Gayathri Mantra. Beliau mengatakan bahwa di dalam Gayathri Mantra terdapat tiga bagian penting. Yang pertama berkaitan dengan kesehatan badan jasmani; yang kedua berhubungan dengan rentang-kehidupan atau longevity (umur-panjang); dan yang ketiga bertalian dengan spirit atau Atma. Inilah ketiga aspek yang terkandung di dalam Gayathri Mantra. Apakah cukup jelas?

Aspek pertama, yang berhubungan dengan badan jasmani, disebut sebagai Gayathri. Aspek kedua, yang berkaitan dengan rentang kehidupan atau prinsip kehidupan, disebut Savithri. Dan yang ketiga – spirit, consciousness (kesadaran), Atma, soul (jiwa) – aspek ini disebut Saraswathi. Jadi, Gayathri Mantra memiliki tiga aspek – Gayathri, Savithri dan Saraswathi, atau badan, kehidupan dan Atma (yang disebut juga dengan istilah spirit atau consciousness). Apakah cukup jelas? (Saya telah berprofesi sebagai guru selama 40 tahun, jadi kiranya tak perlu diragukan lagi keefisienan saya sebagai seorang guru, betul tidak? Saya sangat senang, kelihatannya anda bisa mengikuti semua hal yang telah ku-katakan tadi).

Gayathri Mantra masih memiliki aspek lainnya – dalam bentuk plane atau dimensi lainnya. Apakah itu?

Om Bhur Bhuvah Suvaha
Tat Savitur Varenyam
Bhargo Devasya Dheemahi
Dhiyo Yonah Prachodayat

(Anil Kumar membacakan Gayathri Mantra)

Ayolah – ulangi dong! (Semua yang hadir, semua bhakta asing (foreigners), mengucapkan Gayathri Mantra sebanyak tiga kali). Inilah Gayathri Mantra. Saya senang anda bisa mengulanginya sedemikian perfect sekali – bahkan jauh lebih bagus daripada orang India sekalipun! (tertawa) Is that OK? Yes, I am so happy. Ku anggap ini sebagai Sai miracle! Keberadaan saya di sini bukan untuk memuji ataupun mengejek anda. Faktanya adalah bahwa berkat rahmat dari Baba, anda bisa mengulangi Gayathri. Mantra ini harus diucapkan secara perfect (sempurna). Good!

Seperti yang telah disinggung sebelumnya, Swami mengatakan bahwa terdapat tiga aspek fundamental, yaitu: Gayathri, Savithri dan Saraswathi. Lebih lanjut, Swami menyinggung satu hal lagi: Bhur, Bhuvah, Suvaha. Ketiga-tiganya merupakan kata-kata penting yang diucapkan dalam Gayathri Mantra. Apa artinya? Bhur adalah body (badan jasmani) – yang bersifat inert (lembam). Inilah yang disebut sebagai aspek ‘materialisasi’ atau aspek Gayathri. “Om Bhur Bhuvah”. Selanjutnya adalah Bhuvah, yang berarti ‘kehidupan’, aspek Savithri atau ‘vibrasi’. Dan kata yang ketiga, Suvaha, adalah soul (jiwa), spirit, Atma, yaitu aspek Saraswathi atau ‘radiasi’. Jadi, Bhur adalah body materialisation atau Gayathri. Bhuvah adalah kehidupan, Savithri atau vibration. Suvaha adalah Saraswathi, Atma atau radiation. Dengan demikian, materialisation, vibration dan radiation berkaitan dengan Gayathri, Savithri dan Saraswathi – body, life dan Atma.

Selanjutnya tiba-tiba Swami berkata demikian, “Kain terbuat dari benang-benang. Jikalau benang ini disingkirkan, maka tidak akan ada kain, yang tersisa hanyalah kapas (cotton). Demikian halnya, bila engkau tidak memikirkan masa lalu, maka masa lalu itu tidak eksis. Jika engkau tidak memikirkan masa depan, maka tidak ada future (masa depan). Past and future adalah produk pikiranmu sendiri. Seperti halnya benang-benang pada kain itu, ketika benang-benang masa lalu dan masa depan disingkirkan; maka kain atau pikiran secara keseluruhan akan hilang!”

Dan pada kesempatan ini, Bhagawan menambahkan, “Hiduplah pada saat sekarang; pikirkanlah tentang masa sekarang. The present is Divine. Sekarang inilah kehidupan; sebab yang telah lewat sudah mati dan masa depan masih belum pasti. Dan di masa sekarang ini, perlakukanlah duty (tugas/kewajiban) sebagai Tuhan dan pekerjaan (work) sebagai bentuk pemujaan (worship). Itulah pesan yang terkandung di masa sekarang. Masa depan hanya berupa angan-angan & harapan – ia sama-sekali tidak mengandung pesan. Apakah ada jaminan bahwa kita masih tetap hidup besok? Demikian pula, masa lalu juga tidak mengandung pesan, sebab ia telah berlalu. Only the present has a message (hanya masa sekarang-lah yang ada maknanya). Apa pesan tersebut? Yaitu: Duty is God.. Work is Worship!”

Bhagawan juga menambahkan, “Ketahui dan pahamilah bahwa badan jasmani, pikiran, dan panca-inderamu bersifat negatif adanya. Yang positif adalah: Atma, Parabrahman, Consciousness (kesadaran), the soul. Segala sesuatu yang ada di dunia ini bersifat negatif.”

Terakhir Swami berkata, “’I (Aku)’, Brahman, Atma, God, Spirit, Soul, Consciousness – semua istilah ini saling bersinonim (sama artinya). Mereka mengandung pengertian yang sama, jadi tak ada yang perlu dikhawatirkan..”

Dewa vishnu and dewi lakshmi

Dewa vishnu and dewi lakshmi
Dewa pemelihara

Ganesha

Ganesha
Dewa keberhasilan

Deva Tri Murti

Deva Tri Murti
Deva Brahma, Visnu, Siva